- Back to Home »
- Stories »
- ASAL MULA UPACARA KASADA
Posted by : Yopi Gozal
May 17, 2013
ASAL
MULA UPACARA KASADA
Dahulu hiduplah satu keluarga yang tenteram. Suami isteri
tersebut bernama Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka berdua suami isteri hidup
rukun. Tidak pernah terlintas kemurungan maupun kesedihan dalam wajahnya.
Sungguh mereka merasakan nikmat kebutuhan hidup mereka. Keadaan alam sekitar
tempat tinggal suami isteri tersebut sangatlah menyenangkan.
Udara bersih, tanah subur, air sungai mengalir dengan
bersihnya. Memang suasana alam pun ikut membantu kedamaian hidup suami isteri. Hari-hari
telah dilaluinya dengan cepat. Usia pun merambat dengan cepat.
Kebahagiaan dan kedamaian telah dilaluinya. Barulah mereka
tersentak dan sadar bahwa mereka pun merasakan kesepian tanpa kehadiran anak
sampai usia senja.
Keinginan mempunyai anak semakin besar. Mereka menempuh
jalan dengan cara bersemedi agar mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdoa di
kaki Gunung Bromo. Karena doa dan tapa tiada henti setiap hari, akhirnya mereka
pun dikabulkan oleh Dewa Brahma.
Pada saat bertapa, Nyai Anteng mendengar suara bahwa kelak
ia akan melahirkan dua puluh lima orang anak, asal anak pertama harus
dikorbankan.
Saat itu Nyai Anteng menyatakan kesediaannya. Yang penting
segera dikaruniai anak. Waktu berjalan terus. Apa yang didengar waktu bersemedi
menjadi kenyataan. Nyai Anteng hamil. Mereka berdua merasa senang dan bahagia,
karena anak yang didambakan akhirnya akan datang juga.
Setelah genap bulannya, Nyai Anteng melahirkan seorang anak
laki-laki. Anak tersebut diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan
cepatnya. Badannya sehat, dan lagi wajahnya tampan. Mereka memelihara anak
dengan penuh kasih saying. Anak Nyai Anteng pun genaplah berjumlah 25 orang
anak. Mereka hidup dengan penuh kegembiraan dan ketenteraman. Sampai-sampai
Nyai Anteng dan Ki Suger lupa akan janjinya.
Meski lama tenggang waktunya, namun janji tetaplah janji.
Pada saatnya akan ditagih juga. Gunung Bromo mulai meberi tanda-tanda
peringatan. Suara Gunung Bromo gemuruh, asap berkepul-kepul. Nyai Anteng dan Ki
Seger pun teringat akan janjinya.
Perasaan sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana
mungkin mereka akan tega melemparkan anak kesayangannya ke kawah Gunung Bromo?
Mereka berdua berusah menghilangkan perasaan sedih. Seandainya dapat diganti
persembahan kepada dewa di Gunung Bromo bukan anaknya melainkan dirinya. Hal
itu tak mungkin terjadi. Dewa menghendaki anaknya yang pertama, bukan dirinya
yang sudah tua.
Dari hari ke hari, Nyai Anteng semakin menderita tekanan
batin, karena harus menyerahkan anak pertama yang paling tampan dan paling
disayang. Sementara Gunung Bromo semakin bereaksi terus. Letusan-letusan mulai
terjadi, lelehan lahar pun dengan derasnya. Saat itu pun Nya Anteng bermimpi
bahwa Dewa Brahma menagih janji. Bila tidak ditepati, kedua puluh lima anaknya
sekaligus akan diminta secara paksa.
Selesai mendengar ucapan Dewa Brahma, terbangun Nyai Anteng
dari tidurnya. Ia tidak dapat berbicara, ia hanya menangis terus, teringat akan
mimpinya.
Kusuma anak pertama, sudah menginjak dewasa. Ia melihat
ibunya sedih terus setiap hari. Maka bertanyalah Kusuma kepada ibunya, “Mengapa
ibu Nampak sedih? Apakah boleh saya mengetahui sebab musababnya, Bu?”
Jawab Nyai Anteng, “Anakku, Kusuma! Ibumu harus mengorbankan
engkau di kawah Gunung Bromo. Ibumu tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu,
Nak! Apabila tidak, semua saudaramu dan engkau akan diambil secara paksa oleh
Dewa Brahma.”
Mendengar kata-kata ibunya, Kusuma tertegun diam seribu
bahasa. Hatinya sedih. Namun kemudian ia berkata. “Sudahlah, Bu! Hilangkan
perasaan hati ibu. Saya bersedia menjadi korban demi ayah ibu, adik-adik serta
keselamatan orang-orang Tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban, Bu!”
Begitu terharu mendengar kata-kata anaknya hingga sang ayah
dan ibunya jatuh pingsan. Pada hari yang telah ditentukan, dibawalah Kusuma ke
kawah Gunung Bromo. Ia diserahkan sebagai korban. Kemudian ia dilemparkan ke
kawah Gunung Bromo dengan disaksikan oleh orang-orang di sekitar kaki Gunung
Bromo.
Korban Kusuma oleh Nyai Anteng dan Ki Seger diterima oleh
Dewa. Sejak peristiwa itu Gunung Bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh.
Jadilah Gunung Bromo tenteram, tenang, kembali seperti semula. Petani mulai
mengerjakan sawah dengan tenteram dan aman. Demikian juga Nyai Anteng dan Ki
Seger serta kedua puluh empat anaknya hidup dengan tenang. Sampai kini
masyarakat Tengger mengadakan upacara korban di bawah Gunung Bromo untuk
menghormati roh Kusuma. Namun yang dijadikan korban bukan lagi manusia
melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen lainnya.